Imprisoning or punishing innocent people is the destruction of the law itself
MEMORI
KASASI
Kepada
Yth.
Ketua
Mahkamah Agung RI
Jl. Medan Merdeka Utara
di-
Jakarta
Melalui
:
Ketua
Pengadilan Negeri Watansoppeng
di-
Salotungo.
Perihal :
Memori Kasasi
Dengan
Hormat,
Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Makassar
Nomor 425/PID.SUS/2019/PT MKS jo. Putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng Nomor 20/Pid.Sus/2019/PN
Wns Dalam Perkara Pidana:
Saya
yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Lengkap ; Muhammad Yusuf Tonggi Bin
Kamarudin Tonggi.
Tempat Lahir ; Maccini Kabupaten Soppeng.
Umur .tgl. lahir
; 52 tahun / 27 Desember 1966.
Tempat Tinggal
; Jln Wijaya No. 152, Kel. Lemba, Kec. Lalabata, Kab. Soppeng.
Agama ; Islam.
Pendidikan ; SMA
Pekerjaan ; Tidak Ada.
Dahulu sebagai TERDAKWA/PEMOHON BANDING, saat ini
untuk selanjutnya akan disebut sebagai PEMOHON KASASI.
Dengan ini Pemohon Kasasi mengajukan Memori
Kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 425/PID.SUS/2019/PT MKS,
tertanggal 4 September 2019, jo. Putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng Nomor 20/Pid.Sus/2019/PN Wns, tanggal 26 Juli
2019
Bahwa Putusan Pengadilan Tinggi Makassar
tersebut diatas telah dimohonkan kasasinya oleh Pemohon Kasasi pada tangggal 15
Oktober 2019, permohonan mana diajukan masih dalam tenggang waktu yang
ditentukan menurut undang-undang, dengan demikian maka permohonan kasasi ini
harus dinyatakan diterima
Bahwa amar Putusan Pengadilan Tinggi Makassar
Nomor 425/PID.SUS/2019/PT MKS Tanggal 18 September 2019, pada pokoknya berbunyi
sebagai berikut:
M E N G
A D I L I
1.
Menerima
permintaan banding dari Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum tersebut;
2. Menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri Watansoppeng Nomor
20/Pid.Sus/2019/PN Wns, tertanggal 16 Juli 219 yang diminta banding tersebut;
3.
Membebankan
biaya perkara untuk membayar biaya dalam dua tingkat peradilan, yang dalam
tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah);
Jo. Putusan Pengadilan
Negeri Watansoppeng Nomor 20/Pid.Sus/2019/PN Wns, tertanggal 16 Juli 219, yang amar putusannya sebagai berikut :
M E N G A D I L I:
1. Menyatakan
Muhammad Yusuf Tonggi Bin Kamarudin Tonggi tersebut diatas, terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras dan antar
golongan (SARA)” sebagaimana dakwaan alternatif Penuntut Umum;
2. Menjatuhkan
pidana penjara terhadap terdakwa, oleh karena itu dengan pidana penjara selama
8 (delapan) bulan;
3. Memerintahkan
Terdakwa untuk ditahan;
4. Menetapkan
barang bukti berupa;
1
(Satu) unit merek Samsung Tipe 32 warna hitam dengan nomor IMEI 1
352051101352461, IMEI 2 352051101352463; Dirampas untuk dimusnahkan;
5.
Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp3000,00 (tigaribu
rupiah);
HAL-HAL
YANG MENJADI ALASAN PENGAJUAN KASASI
Bahwa Pemohon
Kasasi sangat keberatan atas Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 425/PID.SUS/2019/PT
MKS (judex facti) tersebut diatas dengan alasan-alasan sebagai berikut dibawah
ini:
I. Pertimbangan hukum Putusan
Pengadilan Tinggi Makassar sebagai Judex Factie merupakan
pertimbangan hukum yang tidak cukup (Onvoldoende Gemotiveerd),
karena hanya membenarkan dan mengambilalih pertimbangan Pengadilan Negeri Watansoppreng
tanpa memberi pertimbangan sendiri;
II.
Bahwa judex facti
menyatakan “putusan pengadilan Negeri Watansoppeng telah tepat dan benar baik
dalam penerapan hukum, dalam menilai hasil pembuktian dalam menentukan pidana,
maka pertimbangan tersebut diambil alih dan dijadikan dasar Pengadilan Tinggi Makassar
dalam memutus perkara ini, oleh karena itu putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng
harus dikuatkan” sebagai pertimbangannya dalam memutuskan;
III.
Bahwa judex facti
telah menilai putusan a quo Pengadilan Negeri Watansoppeng dengan tidak
memberikan alasan-alasan dan pertimbangan hukumnya terlebih dahulu seperti
diwajibkan oleh undang-undang;
IV. Putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng (Judex Factie) Keliru
dalampertimbangan hukumnya;
V. Bahwa Perkara ini
bisa sampai di Proses di Pengadilan Negeri Watansoppeng berawal dari laporan Oknum
Sekretaris DPC PDIP Soppeng Basri Bin Abdul Latif (nama Facebook Basri Isha) ke
Reskim Soppeng yang Melaporkan Saya telah menjelek jelekan PDIP dan Joko Widodo
di Media Facebook;
VI. Bahwa inti masalnya di luar Pengadilan yaitu berdasarkan
Laporan Saksi Pelapor,dan inti masalahnya di Ruang Persidangan di Pangadilan
Negeri Watansoppeng “Seharusnya Tentang Ideologi Marhaenisme, Komunis, PDIP dan
DPC PDIP Soppeng, dan tentang Indikasi Hoax atau bukan yang di alami oleh Joko
Widodo di Media Elektronik terkait foto seseorang dengan DN Aidit”;
VII. Bahwa Mengemukakan Pendapat sebenarnya adalah hak dari
semua Warga Negara Republik Indonesia, bebas berpendapat adalah kebebasan dalam
berbicara dan berpendapat tanpat ada batasannya atau dapat dibatasi dengan
Norma-Norma dan Nilai Nilai dengan Parameter Positif yang berkeadilan sosial”;
VIII. Bahwa di Indonesia, kebebasan berpendapat di jamin dalam
UUD 45 Pasal 28E ayat 3 yang menyebutkan "Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Berdasarkan Pasal
28E ayat 3 tersebut Pendapat tidak hanya disampaikan secara lisan seperti
pidato namun juga dapat lewat tulisan dan lain-lain;
IX. Bahwa kemudian di Indonesia terjadi pendapat-pendapat
masyarakat yang tidak di terima oleh kelompok kelompok tertentu maka Undan
Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat 2 mengatur yang
berbunyi "Setiap orang berhak untuk mempuyai,mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan
melalu media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai nilai
agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa;
X.
Bahwa Masalah Perkara
Pidana ini untuk di kondisifikasikan dengan Hati Nurani Hakim pada penerapan
hukum untuk memutuskan perkara ini ((Judex Factie) dengan Norma-Norma dan Nilai
Nilai dengan Parameter Positif yang berkeadilan sosial wajib juga di kaitkan
dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun
1966;
v
Pakar hukum tata
negara Refly Harun menyatakan;
Ketetapan MPRS Nomor
XXV Tahun 1966 yang menjadi dasar hukum bagi pemerintah dalam menangkapi para
pengguna atribut palu-arit, menyita buku-buku yang dianggap berhaluan kiri, dan
membubarkan berbagai diskusi terkait peristiwa 1965, sesungguhnya bertentangan
dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berpikir dan berekspresi tiap warga
negara Indonesia;
Oleh sebab itu,
menurut Refly, Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu mestinya dicabut karena
berlawanan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Republik
Indonesia;
“Seharusnya kalau
mau, Tap MPRS itu ditinjau dan dicabut, barulah tidak ada dasar hukum lagi
untuk melarang warga berpendapat,” kata Refly kepada CNN Indonesia.com di
Jakarta, Jumat (13/5);
Tap MPRS Nomor XXV
Tahun 1966 itu ialah tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan
PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia,
dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran
komunisme/marxisme-leninisme;
Di antara ketiga
butir cakupan larangan yang termuat dalam Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966
tersebut, poin ketigalah yang menjadi ganjalan utama bagi kebebasan berpendapat
warga negara Indonesia, yakni terkait ajaran komunisme;
Komunisme ialah paham
antikapitalisme yang memperjuangkan kesejahteraan ekonomi. Ideologi ini
menentang kepemilikan akumulasi modal oleh individu yang memunculkan sistem
kelas, yakni kelas borjuis sebagai kaum pemilik modal serta kekuasaan, dan kelas
proletar sebagai kaum pekerja;
Kelas-kelas tersebut,
menurut komunis, memunculkan kesenjangan kelas dan ketidakadilan bagi kaum
proletar. Mereka berpandangan, kekayaan atau modal sejatinya milik rakyat dan
oleh karenanya seluruh alat produksi harus dikuasai negara demi kemakmuran
rakyat secara merata;
Menganut paham
komunisme tersebut, beradasarkan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966, dengan demikian
terlarang di negeri ini. Di sisi lain, kata Refly, Pasal 28 UUD 1945 mengatur bahwa
setiap warga negara Indonesia memiliki kebebasan berpendapat, berkumpul, dan
berserikat;
Pun sesuai prinsip
hak asasi manusia, ujar Refly, tiap orang berhak meyakini ajaran dan paham
apapun;
Selain itu, Refly
ragu isu kebangkitan komunisme yang saat ini berembus di tengah masyarakat
Indonesia, benar-benar nyata terjadi. Namun semua itu jadi suram lantaran
kebebasan berpikir rakyat terkungkung dalam batasan Tap MPRS XXV/1966 tersebut;
“Secara hukum
positif, Tap MPRS itu masih berlaku. salahnya, apa betul-betul serius ancaman
komunisme di era terbuka begini? Apa cuma sekedar gaya aparat,” kata Refly;
Refly menyatakan ada
dua kemungkinan untuk mencabut Tap MPRS XXV/1966 yang melaran ajaran komunisme
di Indonesia, yakni lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat selaku lembaga yang
mengeluarkan kebijakan tersebut, atau via Mahkamah Konstitusi;
Secara teoritis,
menurut Refly, pencabutan bisa dilakukan di MK lewat pengajuan gugatan atau
judicial review, sebab materi Tap MPRS tersebut bertentangan dengan konstitusi;
“Saya kira tak ada
halangan bagi MK untuk menguji Tap MPR kalau Tap itu bertentangan dengan
konstitusi,” ujar Refly.
v
Senada dengan Refly,
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi juga menilai;
Tap MPRS XXV/1966
sudah seharusnya dicabut lantaran bertentangan dengan konstitusi. Apalagi, kata
Hendardi, aturan tersebut tidak sejalan lagi dengan semangat reformasi dan
iklim demokrasi di Indonesia;
“Seharusnya memang
dicabut. Gus Dur pernah mengusulkan pencabutan itu, tapi ditolak oleh MPR/DPR.
Itu dinamika politik,” kata Hendardi;
Ia mengatakan meski
Tap MPRS XXV/1966 masih berlaku hingga kini, banyak kebijakan pemerintah yang
sesungguhnya menunjukkan pengakuan atas kekeliruan negara di masa lalu,
khususnya menyangkut kehidupan korban tragedi 1965;
Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1999 tentang Pemilu misalnya mengatur bahwa eks tahanan politik 1965
dapat memilih dalam Pemilu. Selain itu, pada tahun 2004 pernah dilakukan
judicial review atas Pasal 60 huruf G UU Nomor 12 Tahun 2003 di mana hasilnya
korban tragedi 1965 harus diperlakukan sama dengan warga negara Indonesia lain
tanpa diskriminasi.
v
Secara terpisah,
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan:
pihaknya akan
mengajukan judicial review atas Tap MPRS XXV/1966 jika ada pengaduan resmi dari
masyarakat;
“Kami melakukan
advokasi berdasarkan pengaduan masyarakat, dan selama ini belum ada. Memang
sudah seharusnya dievaluasi Tap MPRS tersebut,” kata Alghiffari;
Apapun, ujar
Alghiffari, Tap MPRS XXV/1966 sudah pernah dikaji ulang dalam Tap MPR Nomor I
Tahun 2003 dengan kesimpulan: Tap MPRS XXV/1966 masih berlaku dengan
mengedepankan prinsip hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi. Prinsip-prinsip
itulah yang diyakini para pegiat HAM tak dipenuhi dalam penerapan Tap MPRS
tersebut.
Sumber : CNN Indonesia
Judual Berita : Refly
Harun: Ketetapan MPRS soal Komunisme Bisa Dicabut
Prima Gumilang, CNN
Indonesia | Jumat, 13/05/2016 09:35 WIB
XI. Kekhilafan Hakim Dalam Menentukan dan Menetapkan Unsur Perbuatan
Secara Melawan Hukum Karena Tanpa Hak;
a. Bahwa
menyatakan pendapat di Media Sosial Facebbok tentang ideologi partai bahwa itu sebagai
partai komunis dengan melihat racikan pemikira Ideologinya yang bersumber dari
Marxisme merupakan kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam Undang Undang
bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kebebasan berpendapat, berkumpul,
dan berserikat, Pun sesuai prinsip hak asasi manusia, dan
demokrasi;
b. Bahwa
Putusan Majelis Hakim (judex factie) tentang perbuatan tersebut sebagai perbuatan
pidana batasanya tidak seperti diwajibkan oleh peraturan yang tidak tertulis
dimana Majalis Hakim (judex factie) menilai bahwa apa yang disebarkan tersebut
masuk katagori sebagai hal yang tidak dapat sebarkan di media publik bahwa berpendapat
tentang Idiologi suatu partai di Facebook merupakan perbuatan yang melampaui
batas wewenang yang diperbolehkan pada aturan tidak tertulis dalam hal kebebasan
berpendapat, berkumpul, dan berserikat membuat kebebasan berpendapat menjadi
terkungkun dan menempatkan Keputusan Majelis Hakim (judex factie) pada ruang
pangadilan mempunyai kebebasan penerapan hukum yang eforia yaitu berujung
Majalis Hakim dapat menghakimi rakyat yang tidak bersalah;
c. Bahwa
saat rakyat menyimpulkan suatu Idiologi partai lalu dipandang dengan prinsipprinsip
hukunm yang eforia bahwa hal itu menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
maka wujud penerapan hukumnya menjadi upaya aparat untuk melarang rakyat
berpendapat yang menempatkan rakyat kehilangan hak sosial politiknya untuk
mengetahui latar belakang Ideologi suatu partai;
d.
Bahwa
bila karena rakyat berpendapat tentang Ideologi Partai berujung pada resiko
hukum pidana yang merupakan Perbuatan menyalahgunakan hak atau melampaui
wewenang pada wilayah penafsiran hukum yang diterpkan Majelis Hakim (judex factie)
untuyk tidak membenarkan pada wilayah penafsiran hukum tidak terulis dapat berakibat kekeliruan
pada penafsiran hukum tertulis.
e. Bahwa
Pakar Hukum Tata Negara (Refly Harun) meragukan isu kebangkitan komunisme yang
saat ini berembus di tengah masyarakat Indonesia, bahwa benar-benar nyata terjadi. Namun semua itu
jadi suram lantaran kebebasan berpikir rakyat terkungkung dalam batasan Tap
MPRS XXV/1966 tersebut;
f.
Bahwa
Pakar Hukum Tata Negara (Refly Harun) berkata “Secara hukum positif, Tap MPRS
itu masih berlaku. salahnya, apa betul-betul serius ancaman komunisme di era
terbuka begini? Apa cuma sekedar gaya aparat,” kata Refly.
g. Bahwa
pada penafsiran kebiasaan hukum tidak tertulis seharusnya penerapan hukum
positifnya tidak berujung untuk mengkungkun rakyat berhak untuk mengetahui secara
benar apa latar belakang Idiologi suatu partai, oleh karena Putusan Majerlis
Hakim(Judex Factie) menyatakan hal itu terlarang atau hal itu merupakan
perbuatan tanpa hak menurut putusanya (judex factie) maka hak sosial politik
masyarakat ibarat tawaran untuk beli kucing dalam karung dan membuat kebebasan
berpikir rakyat terkungkung tanpa mengedepankan prinsip prinsip hukum positif
sehingga hak rakyat untuk mengetahui hal hal yang bersifat publik terhalang
atau menjadi suram;
h.
Menganut
paham komunisme tersebut, beradasarkan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966, dengan
demikian terlarang di negeri ini. Di sisi lain, kata Refly, Pasal 28 UUD 1945
mengatur bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kebebasan berpendapat,
berkumpul, dan berserikat. Kata Rafly.
i. Prinsip
pinsip hukum positif apa untuk dikodifikasikan oleh Majelis Hakim untuk
membatasi kebebasan berpendapat atau mengganjal rakyat untuk mengetahui secara
jelas lewat media publik atau untuk berpendapat di media sosial untuk
mendapatkan jawaban yang jelas tentang apakah Ideologi Marhaenisme Ideologi
komunis atau bukan;
j. Bahwa
bila karena Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 lalu oleh hukum Majelis Hakim untuk
mengkodifikasikan bahwa mempublikan masalah Ideologi Marhaenisme bahwa itu
adalah Ideolologi Komunis, lalu Majelis Hakim berkesimpulan untuk mengkodifikasikan
bahwa hal itu merupakan hal yang terlarang maka terang dan jelas bahwa tindakan
penerapan hukum seperti itu merupakan tindakan gaya aparat yang keliru yang mencederai
Pasal 28E ayat 3 UUD 45 yang menyebutkan "Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." dengan mengkodifikasikan Pasal 28 J Ayat (!) UUD 1945 dengan alasan
setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tatatertib kehidupan
masyarakat;
k.
Apapun,
ujar Alghiffari, Tap MPRS XXV/1966 sudah pernah dikaji ulang dalam Tap MPR
Nomor I Tahun 2003 dengan kesimpulan: Tap MPRS XXV/1966 masih berlaku dengan
mengedepankan prinsip hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi. Prinsip-prinsip
itulah yang diyakini para pegiat HAM tak dipenuhi dalam penerapan Tap MPRS
tersebut;
l. Kekeliruan
Keputusan Majelis Hakim dalam pengambilan keputusan (judex factie) jelas mengesampingkan Amanat UU No.39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat 2 yang berbunyi "Setiap orang
berhak untuk mempuyai,mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati
nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalu media cetak maupun media
elektronik dengan memperhatikan nilai nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum, dan keutuhan bangsa;
m. Bahwa
rakyat sah sahnya mempunyai kebebasan untuk berpendapat di muka umumtanpa
perlu takut karena dijamin dalam UU no.9 tahun 1998 dmana batas kewenangan
sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 4 pada Undang Undang tersebut penyampaian
pendapat harus mewujudkan kebebasan bertanggung jawab, maksudnya adalah dengan
memperhatikan norma yang berlaku, maka tentu indikator parameter positifnya
wajib berdasarkan dengan prinsip prinsip hukum yang berkeadilan sosial;
n.
Bahwa
pada putusan Majelis Hakim (judex facti) manyatakan dalam amarnya yang pada
dasarnya maksudnya adalah Saya / Muhammad Yusuf Tonggi terbukti secara sah dan
menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan
permusuhan individu dan / atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
merupakan suatu kekeliruan yang justru menyebabkan kebebasan berpikir rakyat
terkungkung yang tidak mengedepankan pirinsip prinsip hukum, hak asasi manusia,
dan demokrasi;
o.
Bahwa
sudah menjadi penyakit sosial di rana humum sejak lama di ruang peradilan kritikan
sosial masyarakat rawan ditafsir menyimpang atau melanggar hukum oleh gaya gaya
ohkum aparat penegak hukum sejak saman orde baru untuk membela kepentingan
kelompok tertentu lalu menghakimi orang yang tidak bersalah dengan tujuan untuk
menimbulkan efek jerah negatif, artinya bilamana dimasa sekarang penegakan
hukum menempatkan kritikan sosial positif sebagai suatu perbuatan yang
melanggar hukum pidana dengan tujuan yang sama maka sangat jelas kebebasan
untuk melakukan kritikan sosial di masa sekarang citra penegakan hukumnya jauh
lebih buruk bila dibandingkan di masa orde baru, toh di masa orde baru juga berlaku
UU Hukum Pidana Pasal 156 yang mengatur kebencian, permusuhan, atau penghinaan
terhadap suatu golongan;
p. Putusan
Majelis Hakim (judex facti) tidak jelas prinsip prinsip hukum apa yang
dikedepankan dan batasan norma norma apa yang digunakan sebagai indikator, dan juga
hak asasi manusia yang seperti apa yang Majelis Hakim maksud, apakah berdasarkan
apa yang diyakini para pegiat HAM atau berdasarkan pendapat Majelis Hakim itu
sendiri sehingga perbuatan saya tersebut di yakini Majlis Hakim terbukti secara
sah sebagai perbuatan yang melanggar hukum, atau putusan Majelis Hakim (judex
facti) tersebut adalah gaya oknum / aparat hukum yang bertujuan agar hak
demokrasi rakyat dalam melakukan kegiatan kritikan sosial positif akan menjadi
jerah, akan tetapi penegakan hukum yang seperti itu sangat jelas mencederai hukum
itu sen diri yang menyebutkan Setiap orang berhak untuk mempuyai,mengeluarkan
dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau
tulisan melalu media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai
nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa (UU
No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat 2). Dampaknya pendapat
Masyarakat pun menjadi terkungkun demi untuk kepentingan kelompok tertrentu;
XII. Kekeliruan Majelis Hakim
Soal SARA karena tidak mengedepankan Prinsip Hukum Yang Berkeadilan
Sosial, Hak Asasi Manusia, dan Azas Demokrasi Rakyat Dalam Hal Pandangnya Tentang
Komunis, Partai Komunis, dan PKI;
a. Ideologi
Politik Partai Partai Komunis yaitu komunisme/marxisme – leninisme atau
Ideologi apapun yang sumber racikan
pemikiranya bersumber dari Marxisme/Komunisme, akan tetapi hal itu tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Republik
Indonesia;
b. Bahwa
dalam Ilmu Pengetahuan Sosial Politik yang terkungkun akibat Tap MPRS Nomor XXV
Tahun 1966 dan kepentingan kelompok tertentu, sudah menjadi rahasia umum di
masyarakat bahwa Ideologi Marhaenisme adalah Ideologi Komunis, karena pada
prinsip dasarnya apapun nama suatu Ideologinya bila dasar racikan pemikiranya
bersumber dari Komunisme/Marxieme – Lenismi disebut Ideologi Komunis, dan
Ideologi Marhaenisme dasar racikan pemikiranya bersumber dari Marxisme;
c. Bahwa
pada prisnsipnya tidak ada dasar hukunya Keputusan Majelis Hakim (judex facti) untuk
menerapkan larangan bagi rakyat untuk berpendapat bahwa Ideologi Marhaenisme
adalah Ideologi Komunis karena ada dasar pemikirnya ada, dan untuk berpendapat
tentang itu, itu adalah hak sosial politik rakyat berhak untuk melakukan
kritikan sosial positf dan mencari informasi untuk tahu bila menemukan suatu indikasi
hoax untuk mendapat kejelasan bahwa apa latar belakang ideologi suatu partai
atau apa latar belakang Ideologi Marhaenisme, Komunis atau bukan, atau apa saja
yang merupakan suatu berita hoax yang kejelasannya menjadi suram;
d.
Di
antara ketiga butir cakupan larangan yang termuat dalam Tap MPRS Nomor XXV
Tahun 1966 tersebut, poin ketigalah yang menjadi ganjalan utama bagi kebebasan
berpendapat warga negara Indonesia, yakni terkait ajaran komunisme (Pakar hukum
tata negara Refly Harun).
e. Terkait
dengan HAM bahwa seandaikan Pahan dan Ajaran Partai Komunis di Indonesia dimasa
lalu bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai konstitusi di Negara Republik Indonesia ini maka Partai
Partai Komunis di Indonesia tidak pernah ada di Indonesia sejak tahun 1945;
f.
Bahwa
seandainya Ideologi Komunis bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan konstitusi di Negara Republik Indonesia,
untuk apa dulu oknum oknum PDIP memperjuangkan pengapusan Ketetapan MPRS Nomor
XXV Tahun 1966, seandainya Ideologi Komunis bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai konstitusi di Negara Republik Indonesia, PDIP secara oganisasi
politik tentu melarang kadernya untuk memperjuangkan itu;
g. Bahwa
berdasarkan Fakta yang terungkap di depan Persidangan Majelis Hakim keliru
memahami hal tersebut, Komunis belum tentu PKI, Palu-Arit Bukan Cuma Punya PKI
(Partai Komunis Indonesia), dan dimasa lalu Partai Komunis bukan hanya PKI,
tapi ada beberapa Parti Komunis lainya dan di katakan sebagai Parti Komunis
berdasarkan Ideologinya, dan kalaupun Majeli Hakim pura pura tidak memahami hal
tersebut maka itulah yang disebut gaya aparat yang melahirkan keputusan yang
tidak berprinsip keadilan sosial atau tidak sesuai dengan hati nurani Hakim;
h.
Pembubaran
Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, bukan karena paham dan
ajaranya, tapi karena dinamika politik dimana pemburan PKI pada waktu itu tentu
buka karena tanpa sebab, paling tidak oknum oknum pelaku politinya dan oknum
konstituenya terindikasi dengan pelanggaran konstitusi atau terkait dengan G.30/S-PKI
Tahun 1965, dan bukan hanya PKI yang di bubarkan pada tahun 1965 karena terindikasi
dengan pelanggaran konstitusi, ada Partai Komunis selain PKI yang juga
dibubarkan pada tahun yang sama;
i. Bahwa Pembubaran Partai di masa lalu bukan hanya PKI yang mengalaminya, PartaiIslam terbesar pun
dimasa itu yang merupakan Partai Penguasa tahun 1950 - 1955 mengalaminya yaitu
Partai Masyumi di bubarkan pada tahun 1960, dan tentu Pembubaran Partai Masyumi
pada tahun 1960 bukan karena Partai itu berideologi Islam akan tetapi juga karena
terindikasi dengan pelanggaran konstitusi;
j.
Bahwa terbitnya Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang larangan penyebaran
Ajararan dan Paham Komunisme/Marxisme – Lenisme diseluruh Indonesia pada tahun
1966 karena dinamika politik dimasa itu, bukan karena Paham dan Ajaranya
bertentangan dengan Undang Undang 1945 sebagai Konstitusi di Republik Indonesia;
k.
Bahwa
pada tahun 1966 larangan penyebaran Ajararan dan Paham komunis karena dinami
politik pada masa itu dan tingginya indikasi pelanggaran konstitusi atau akan
semakin meningkatnya pelanggaran konstitusi bila Tap MPRS tersebut tidak
diterbitkan, oleh karena itu bukan hanya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
terkena dampak atau imbasnya dari Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966, tapi
seluruh Partai Komunis;
l.
Bahwa
Saya / Terdakwa dalam Kasus Perkara ini diluar dan didalam pengadilan tidak
pernah beranggapan bahwa Marhaenisem sebagai Ideologi yang harus dibenci atau
memprovoksi orang lain membenci ajaran dan paham komunisme ataupun ideologi partai
komunis dengan berpendapat negatif atau berasumsi misal dengan beranggapan
bahwa paham dan ajaran itu adalah pahanm orang orang kafir, Pendapat Saya sama halnya
dengan pakar pakar hukum yang memahami Komunis dengan baik bahwa; Komunisme
ialah paham antikapitalisme yang memperjuangkan kesejahteraan ekonomi. Ideologi
ini menentang kepemilikan akumulasi modal oleh individu yang memunculkan sistem
kelas, yakni kelas borjuis sebagai kaum pemilik modal serta kekuasaan, dan kelas
proletar sebagai kaum pekerja (Pakar hukum tata negara Refly Harun);
m.
Bahwa merupakan kekeliruan yang nyata melarang rakyat untuk berpendapat dan melakukan
kritiksn sosial antara lain bahwa bilamana suatu Partai Politik yang racikan pemikiran
Ideologi Politiknya bersumber dari Marxisme itu adalah Partai Komunis, salah
dan masalahnya apa dan dasar hukumnya untuk berpendapat tentang Ideologi
Marhaenisme sehingga harus dikondisifikasikan dilarang untuk dibicarakan di
media publik, Komunis atau bukan rakyat perlu tahu kesimpulan jelasnnya apakah
itu adalah ideologi komunis atau bukan;
XIII. Kekhilafan Hakim mengenai Adanya Dampak Yang Ditimbulkan;
a.
Bahwa Putusan Pangadilan Negeri Watansoppeng, tanggal 19 Juli 2019 adalah putusan
yang tidak cukup pertimbangan (onvoldoende
gemotiveerd) yang hanya berdasarkan pendapat sendiri dimana ahli
ITe
justru berpendapat lain bawah tidak ada ujaran kebencian tetapi menghina
seorang Kepala Negara, karena ujaran kebencian menurut ahli ITe yang diajukan
oleh Penuntut Umum, kebencian harus ada unsur saling kenal antara yang
melakukan ujaran kebencian dan yang terkena dampak lansung dari ujaran
kebencian tersebut
b.
Bahwa saksi ahli (ahli bahasa) yangh diajukan oleh Penuntut Umun tidak
paham atau tidak tahu Komunis yang belum
tentu PKI, Palu-Arit Bukan Cuma Punya PKI (Partai Komunis Indonesia), dimasa
lalu Partai Komunis bukan hanya PKI, tapi ada beberapa Partai Komunis lainya,
dan yang jelas unsur ajakan tidak serta merta dapat diartikan sebagai suatu
ajakan yang memiliki muatan unsur pidana, postinganya saya sifatnya berpendapat,
berkumpul, dan berserikat untuk mengetahui dan mencari jelas dan kejelasanya bahwa
dasar pemikirannya apa untuk dapat disimpulkan bahwa Ideologi Marhaenisme tidak
dapat disebut sebagai Komunis;
c.
Bahwa untuk menyatakan bahwa saya secara sah melakukan perbuatan
yang melamgggar hukum pidana, aturan hukum apa yang mengatur harus jelas
kondisifikasi positifnya bahwa Ideologi Marhaenisme tidak dapat disebut sebagai
Idelogi Komunis, bukan dengan gaya aparat dengan tujuan untuk menghakimi saya, dan
juga harus jelas aturan hukum apa yang mengatur Ideologi Marhaenisme yang
berbau komunis tersebut dilarang untuk di dibahas dan sebarkan di media sosial,
pengadilan adalah tempat untuk mencari keadilan yang berkeadilan sosial;
d.
Bahwa berdasarkan UUD 1945, hak asasi rakyat (HAM) atau
Konstitusi yang berlaku di Republik Indonesia sudah seharusnya seluruh rakyat
berhak mengetahui kejelasan dan penjelasan tentang Ideologi Marhaenisme secara
baik dan benar;
e. Bilamana Hukum Posistifnya untuk menyatatakan perbuatan Saya yang
menyimpulkan bahwa Ideologi Marhaenisme adalah Ideologi Komunis merupakan
perbuatan yang melanggar hukum pidana maka dasar hukum positnya adalah Ketetapan MPRS Nomor
XXV Tahun 1966, dan terkait dengan G30/S-PKI, maka demi untuk penegakan hukum
yang berkeadilan sosial “ PDIP harus dibekukan dan dinyatakan sebagai partai terlarang,”
dan pemerintah harus menarik buku buku diperedaran yang berbau komunis”;
f.
Bahwa dalam hal mengedepankan prinsip prinsip hukum dengan kepastian
hukum yanbg berkeadilan tanpa ada gaya aparat / oknum, tidak ada istilah yang
disebut Ideologi berbau komunis, atapun buku buku yang berbau komunis. Kalau
Ideologi itu sudah berbau komunis berarti Ideologi Komunis, dan kalau buku buku
itu berbau komunis berarti buku itu isinya tentang komunis atau tentang ajarah
atau paham komunis;
g.
Bahwa sampai Terbitnya Putusan Majelis Hakim (judex facti) pada tanggal 26 Juli 2019,
tidak terdapat fakta lapangan yang menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan terhadap DPC PDIP Kabupaten Soppeng dan Joko
Widodo-Ma'ruf Amin, terbukti DPC PDIP Kabupaten Soppeng bertambah perolehan
kursinya di DPRD Soppeng, dan Joko Widodo-Ma'ruf Amin menang di Kabupaten
Soppeng pada pilpres 2019, dimana dari 24 kabupaten/kota se Sulawesi Selatan,
Joko Widodo-Ma'ruf Amin hanya menang di 4 Kabupaten dan satu diantaranya di
Kabupaten Soppeng;
XIV. Bahwa di luar tersebut di atas, maka judex facti harus
memeriksa keseluruhan objek perkara yang dimintakan kasasi karena judex facti
telah keliru dalam menerapkan hukum;
PEMOHON
Berdasarkan dalil dan argumen-argumen
keberatan di atas, Pemohon Kasasi dahulu Pembanding mohon kepada Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia berkenan memberikan putusan:
1. Menerima dan
mengabulkan Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi untuk seluruhnya
2. Membatalkan Putusan
Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 425/PID.SUS/2019/PT MKS tanggal 4 September 2019 jo. Putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng Nomor
20/Pid.Sus/2019/PN Wns;
3. Menyatakan pemohon kasasi/Muhammad Yusuf Tonggi tidak
terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
dan permusuhan individu dan / atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA);
4. Menyatakan pemohon
kasasi/Muhammad Yusuf Tonggi dibebaskan dari dakwaan (Vrijspraak) atau
setidak-tidaknya dilepaskan dari semua tuntutan hukum (Onstlag Van
Rechtvervolging);
5. Merehabilitasi nama
baik pemohon kasasi/ Muhammad Yusuf Tonggi;
6. Membebankan
biaya perkara ini kepada Negara.
Watansoppeng, 15
Oktober 2019
Hormat Kami
Pemohon Kasasi
Muhammad
Yusuf Tonggi Bin Kamaruddin Tonggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar