Sejarah Sulawesi Encyclopedia

Selasa, 15 Oktober 2019

Legal Issues I Am Facing in My Country

Konstitusi (bahasa Latin: constituante) atau Undang-undang Dasar atau disingkat UUD dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan negara—biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis
Imprisoning or punishing innocent people is the destruction of the law itself

MEMORI KASASI

Kepada Yth.

Ketua Mahkamah Agung RI

Jl. Medan Merdeka Utara

di-
Jakarta

Melalui   :

Ketua Pengadilan Negeri Watansoppeng

di-
Salotungo.

Perihal  :         Memori Kasasi

Dengan Hormat,

Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 425/PID.SUS/2019/PT MKS jo. Putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng Nomor 20/Pid.Sus/2019/PN Wns Dalam Perkara Pidana:

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Lengkap          ; Muhammad Yusuf Tonggi Bin Kamarudin Tonggi.
Tempat Lahir             ; Maccini Kabupaten Soppeng.
Umur .tgl. lahir          ; 52 tahun / 27 Desember 1966.
Tempat Tinggal         ; Jln Wijaya No. 152, Kel. Lemba, Kec. Lalabata, Kab. Soppeng.
Agama                      ; Islam.
Pendidikan                ; SMA
Pekerjaan                  ; Tidak Ada.

Dahulu sebagai TERDAKWA/PEMOHON BANDING, saat ini untuk selanjutnya akan disebut sebagai PEMOHON KASASI.

Dengan ini Pemohon Kasasi mengajukan Memori Kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 425/PID.SUS/2019/PT MKS, tertanggal 4 September 2019, jo. Putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng  Nomor 20/Pid.Sus/2019/PN Wns, tanggal 26 Juli 2019

Bahwa Putusan Pengadilan Tinggi Makassar tersebut diatas telah dimohonkan kasasinya oleh Pemohon Kasasi pada tangggal 15 Oktober 2019, permohonan mana diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan menurut undang-undang, dengan demikian maka permohonan kasasi ini harus dinyatakan diterima
Bahwa amar Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 425/PID.SUS/2019/PT MKS Tanggal 18 September 2019, pada pokoknya berbunyi sebagai berikut:

M E N G A D I L I

1.     Menerima permintaan banding dari Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum tersebut;

2.  Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri Watansoppeng Nomor 20/Pid.Sus/2019/PN Wns, tertanggal 16 Juli 219 yang diminta banding tersebut;

3.     Membebankan biaya perkara untuk membayar biaya dalam dua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah);

Jo. Putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng Nomor 20/Pid.Sus/2019/PN Wns, tertanggal 16 Juli 219, yang amar putusannya sebagai berikut :

M E N G A D I L I:
1.     Menyatakan Muhammad Yusuf Tonggi Bin Kamarudin Tonggi tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras dan antar golongan (SARA)” sebagaimana dakwaan alternatif Penuntut Umum;
2.     Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan;
3.     Memerintahkan Terdakwa untuk ditahan;
4.     Menetapkan barang bukti berupa;
1 (Satu) unit merek Samsung Tipe 32 warna hitam dengan nomor IMEI 1 352051101352461, IMEI 2 352051101352463; Dirampas untuk dimusnahkan;
5. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp3000,00 (tigaribu rupiah);

HAL-HAL YANG MENJADI ALASAN PENGAJUAN KASASI

Bahwa Pemohon Kasasi sangat keberatan atas Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 425/PID.SUS/2019/PT MKS (judex facti) tersebut diatas dengan alasan-alasan sebagai berikut dibawah ini:

I.     Pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Tinggi Makassar sebagai  Judex Factie merupakan pertimbangan hukum yang tidak cukup (Onvoldoende Gemotiveerd), karena hanya membenarkan dan mengambilalih pertimbangan Pengadilan Negeri Watansoppreng  tanpa memberi pertimbangan sendiri;

II.         Bahwa judex facti menyatakan “putusan pengadilan Negeri Watansoppeng telah tepat dan benar baik dalam penerapan hukum, dalam menilai hasil pembuktian dalam menentukan pidana, maka pertimbangan tersebut diambil alih dan dijadikan dasar Pengadilan Tinggi Makassar dalam memutus perkara ini, oleh karena itu putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng harus dikuatkan” sebagai pertimbangannya dalam memutuskan;

III.        Bahwa judex facti telah menilai putusan a quo Pengadilan Negeri Watansoppeng dengan tidak memberikan alasan-alasan dan pertimbangan hukumnya terlebih dahulu seperti diwajibkan oleh undang-undang;

IV. Putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng (Judex Factie) Keliru dalampertimbangan hukumnya;

V.     Bahwa Perkara ini bisa sampai di Proses di Pengadilan Negeri Watansoppeng berawal dari laporan Oknum Sekretaris DPC PDIP Soppeng Basri Bin Abdul Latif (nama Facebook Basri Isha) ke Reskim Soppeng yang Melaporkan Saya telah menjelek jelekan PDIP dan Joko Widodo di Media Facebook;

VI.  Bahwa inti masalnya di luar Pengadilan yaitu berdasarkan Laporan Saksi Pelapor,dan inti masalahnya di Ruang Persidangan di Pangadilan Negeri Watansoppeng “Seharusnya Tentang Ideologi Marhaenisme, Komunis, PDIP dan DPC PDIP Soppeng, dan tentang Indikasi Hoax atau bukan yang di alami oleh Joko Widodo di Media Elektronik terkait foto seseorang dengan DN Aidit”;

VII.  Bahwa Mengemukakan Pendapat sebenarnya adalah hak dari semua Warga Negara Republik Indonesia, bebas berpendapat adalah kebebasan dalam berbicara dan berpendapat tanpat ada batasannya atau dapat dibatasi dengan Norma-Norma dan Nilai Nilai dengan Parameter Positif yang berkeadilan sosial”;

VIII.    Bahwa di  Indonesia, kebebasan berpendapat di jamin dalam UUD 45 Pasal 28E ayat 3 yang menyebutkan "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Berdasarkan Pasal 28E ayat 3 tersebut Pendapat tidak hanya disampaikan secara lisan seperti pidato namun juga dapat lewat tulisan dan lain-lain; 

IX.       Bahwa kemudian di Indonesia terjadi pendapat-pendapat masyarakat yang tidak di terima oleh kelompok kelompok tertentu maka Undan Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat 2 mengatur yang berbunyi "Setiap orang berhak untuk mempuyai,mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalu media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa;

X.        Bahwa Masalah Perkara Pidana ini untuk di kondisifikasikan dengan Hati Nurani Hakim pada penerapan hukum untuk memutuskan perkara ini ((Judex Factie) dengan Norma-Norma dan Nilai Nilai dengan Parameter Positif yang berkeadilan sosial wajib juga di kaitkan dengan  Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966;

v Pakar hukum tata negara Refly Harun menyatakan;

Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang menjadi dasar hukum bagi pemerintah dalam menangkapi para pengguna atribut palu-arit, menyita buku-buku yang dianggap berhaluan kiri, dan membubarkan berbagai diskusi terkait peristiwa 1965, sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berpikir dan berekspresi tiap warga negara Indonesia;
Oleh sebab itu, menurut Refly, Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu mestinya dicabut karena berlawanan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia;

“Seharusnya kalau mau, Tap MPRS itu ditinjau dan dicabut, barulah tidak ada dasar hukum lagi untuk melarang warga berpendapat,” kata Refly kepada CNN Indonesia.com di Jakarta, Jumat (13/5);

Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu ialah tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme;

Di antara ketiga butir cakupan larangan yang termuat dalam Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tersebut, poin ketigalah yang menjadi ganjalan utama bagi kebebasan berpendapat warga negara Indonesia, yakni terkait ajaran komunisme;

Komunisme ialah paham antikapitalisme yang memperjuangkan kesejahteraan ekonomi. Ideologi ini menentang kepemilikan akumulasi modal oleh individu yang memunculkan sistem kelas, yakni kelas borjuis sebagai kaum pemilik modal serta kekuasaan, dan kelas proletar sebagai kaum pekerja;

Kelas-kelas tersebut, menurut komunis, memunculkan kesenjangan kelas dan ketidakadilan bagi kaum proletar. Mereka berpandangan, kekayaan atau modal sejatinya milik rakyat dan oleh karenanya seluruh alat produksi harus dikuasai negara demi kemakmuran rakyat secara merata;

Menganut paham komunisme tersebut, beradasarkan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966, dengan demikian terlarang di negeri ini. Di sisi lain, kata Refly, Pasal 28 UUD 1945 mengatur bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat;

Pun sesuai prinsip hak asasi manusia, ujar Refly, tiap orang berhak meyakini ajaran dan paham apapun;

Selain itu, Refly ragu isu kebangkitan komunisme yang saat ini berembus di tengah masyarakat Indonesia, benar-benar nyata terjadi. Namun semua itu jadi suram lantaran kebebasan berpikir rakyat terkungkung dalam batasan Tap MPRS XXV/1966 tersebut;

“Secara hukum positif, Tap MPRS itu masih berlaku. salahnya, apa betul-betul serius ancaman komunisme di era terbuka begini? Apa cuma sekedar gaya aparat,” kata Refly;

Refly menyatakan ada dua kemungkinan untuk mencabut Tap MPRS XXV/1966 yang melaran ajaran komunisme di Indonesia, yakni lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat selaku lembaga yang mengeluarkan kebijakan tersebut, atau via Mahkamah Konstitusi;

Secara teoritis, menurut Refly, pencabutan bisa dilakukan di MK lewat pengajuan gugatan atau judicial review, sebab materi Tap MPRS tersebut bertentangan dengan konstitusi;

“Saya kira tak ada halangan bagi MK untuk menguji Tap MPR kalau Tap itu bertentangan dengan konstitusi,” ujar Refly.

v Senada dengan Refly, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi juga menilai;

Tap MPRS XXV/1966 sudah seharusnya dicabut lantaran bertentangan dengan konstitusi. Apalagi, kata Hendardi, aturan tersebut tidak sejalan lagi dengan semangat reformasi dan iklim demokrasi di Indonesia;

“Seharusnya memang dicabut. Gus Dur pernah mengusulkan pencabutan itu, tapi ditolak oleh MPR/DPR. Itu dinamika politik,” kata Hendardi;

Ia mengatakan meski Tap MPRS XXV/1966 masih berlaku hingga kini, banyak kebijakan pemerintah yang sesungguhnya menunjukkan pengakuan atas kekeliruan negara di masa lalu, khususnya menyangkut kehidupan korban tragedi 1965;

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu misalnya mengatur bahwa eks tahanan politik 1965 dapat memilih dalam Pemilu. Selain itu, pada tahun 2004 pernah dilakukan judicial review atas Pasal 60 huruf G UU Nomor 12 Tahun 2003 di mana hasilnya korban tragedi 1965 harus diperlakukan sama dengan warga negara Indonesia lain tanpa diskriminasi.

v Secara terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan:

pihaknya akan mengajukan judicial review atas Tap MPRS XXV/1966 jika ada pengaduan resmi dari masyarakat;

“Kami melakukan advokasi berdasarkan pengaduan masyarakat, dan selama ini belum ada. Memang sudah seharusnya dievaluasi Tap MPRS tersebut,” kata Alghiffari;

Apapun, ujar Alghiffari, Tap MPRS XXV/1966 sudah pernah dikaji ulang dalam Tap MPR Nomor I Tahun 2003 dengan kesimpulan: Tap MPRS XXV/1966 masih berlaku dengan mengedepankan prinsip hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi. Prinsip-prinsip itulah yang diyakini para pegiat HAM tak dipenuhi dalam penerapan Tap MPRS tersebut.

Sumber            :  CNN Indonesia
Judual Berita : Refly Harun: Ketetapan MPRS soal Komunisme Bisa Dicabut
Prima Gumilang, CNN Indonesia | Jumat, 13/05/2016 09:35 WIB


XI.       Kekhilafan Hakim Dalam Menentukan dan Menetapkan Unsur Perbuatan Secara Melawan Hukum Karena Tanpa Hak;

a.  Bahwa menyatakan pendapat di Media Sosial Facebbok tentang ideologi partai bahwa itu sebagai partai komunis dengan melihat racikan pemikira Ideologinya yang bersumber dari Marxisme merupakan kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam Undang Undang bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat, Pun sesuai prinsip hak asasi manusia, dan demokrasi; 

b.   Bahwa Putusan Majelis Hakim (judex factie) tentang perbuatan tersebut sebagai perbuatan pidana batasanya tidak seperti diwajibkan oleh peraturan yang tidak tertulis dimana Majalis Hakim (judex factie) menilai bahwa apa yang disebarkan tersebut masuk katagori sebagai hal yang tidak dapat sebarkan di media publik bahwa berpendapat tentang Idiologi suatu partai di Facebook merupakan perbuatan yang melampaui batas wewenang yang diperbolehkan pada aturan tidak tertulis dalam hal kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat membuat kebebasan berpendapat menjadi terkungkun dan menempatkan Keputusan Majelis Hakim (judex factie) pada ruang pangadilan mempunyai kebebasan penerapan hukum yang eforia yaitu berujung Majalis Hakim dapat menghakimi rakyat yang tidak bersalah;

c.  Bahwa saat rakyat menyimpulkan suatu Idiologi partai lalu dipandang dengan prinsipprinsip hukunm yang eforia bahwa hal itu menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan maka wujud penerapan hukumnya menjadi upaya aparat untuk melarang rakyat berpendapat yang menempatkan rakyat kehilangan hak sosial politiknya untuk mengetahui latar belakang Ideologi suatu partai;

d.      Bahwa bila karena rakyat berpendapat tentang Ideologi Partai berujung pada resiko hukum pidana yang merupakan Perbuatan menyalahgunakan hak atau melampaui wewenang pada wilayah penafsiran hukum yang diterpkan Majelis Hakim (judex factie) untuyk tidak membenarkan pada wilayah penafsiran  hukum tidak terulis dapat berakibat kekeliruan pada penafsiran hukum tertulis.

e.  Bahwa Pakar Hukum Tata Negara (Refly Harun) meragukan isu kebangkitan komunisme yang saat ini berembus di tengah masyarakat Indonesia, bahwa  benar-benar nyata terjadi. Namun semua itu jadi suram lantaran kebebasan berpikir rakyat terkungkung dalam batasan Tap MPRS XXV/1966 tersebut;

f.       Bahwa Pakar Hukum Tata Negara (Refly Harun) berkata “Secara hukum positif, Tap MPRS itu masih berlaku. salahnya, apa betul-betul serius ancaman komunisme di era terbuka begini? Apa cuma sekedar gaya aparat,” kata Refly.

g.  Bahwa pada penafsiran kebiasaan hukum tidak tertulis seharusnya penerapan hukum positifnya tidak berujung untuk mengkungkun rakyat berhak untuk mengetahui secara benar apa latar belakang Idiologi suatu partai, oleh karena Putusan Majerlis Hakim(Judex Factie) menyatakan hal itu terlarang atau hal itu merupakan perbuatan tanpa hak menurut putusanya (judex factie) maka hak sosial politik masyarakat ibarat tawaran untuk beli kucing dalam karung dan membuat kebebasan berpikir rakyat terkungkung tanpa mengedepankan prinsip prinsip hukum positif sehingga hak rakyat untuk mengetahui hal hal yang bersifat publik terhalang atau menjadi suram;

h.     Menganut paham komunisme tersebut, beradasarkan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966, dengan demikian terlarang di negeri ini. Di sisi lain, kata Refly, Pasal 28 UUD 1945 mengatur bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat. Kata Rafly.

i.    Prinsip pinsip hukum positif apa untuk dikodifikasikan oleh Majelis Hakim untuk membatasi kebebasan berpendapat atau mengganjal rakyat untuk mengetahui secara jelas lewat media publik atau untuk berpendapat di media sosial untuk mendapatkan jawaban yang jelas tentang apakah Ideologi Marhaenisme Ideologi komunis atau bukan;

j.    Bahwa bila karena Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 lalu oleh hukum Majelis Hakim untuk mengkodifikasikan bahwa mempublikan masalah Ideologi Marhaenisme bahwa itu adalah Ideolologi Komunis, lalu Majelis Hakim berkesimpulan untuk mengkodifikasikan bahwa hal itu merupakan hal yang terlarang maka terang dan jelas bahwa tindakan penerapan hukum seperti itu merupakan tindakan gaya aparat yang keliru yang mencederai Pasal 28E ayat 3 UUD 45 yang menyebutkan "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." dengan mengkodifikasikan  Pasal 28 J Ayat (!) UUD 1945 dengan alasan setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tatatertib kehidupan masyarakat;

k.      Apapun, ujar Alghiffari, Tap MPRS XXV/1966 sudah pernah dikaji ulang dalam Tap MPR Nomor I Tahun 2003 dengan kesimpulan: Tap MPRS XXV/1966 masih berlaku dengan mengedepankan prinsip hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi. Prinsip-prinsip itulah yang diyakini para pegiat HAM tak dipenuhi dalam penerapan Tap MPRS tersebut;

l.     Kekeliruan Keputusan Majelis Hakim dalam pengambilan keputusan (judex factie) jelas mengesampingkan Amanat UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat 2 yang berbunyi "Setiap orang berhak untuk mempuyai,mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalu media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa;

m.  Bahwa rakyat sah sahnya mempunyai kebebasan untuk berpendapat di muka umumtanpa perlu takut karena dijamin dalam UU no.9 tahun 1998 dmana batas kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 4 pada Undang Undang tersebut penyampaian pendapat harus mewujudkan kebebasan bertanggung jawab, maksudnya adalah dengan memperhatikan norma yang berlaku, maka tentu indikator parameter positifnya wajib berdasarkan dengan prinsip prinsip hukum yang berkeadilan sosial;

n.     Bahwa pada putusan Majelis Hakim (judex facti) manyatakan dalam amarnya yang pada dasarnya maksudnya adalah Saya / Muhammad Yusuf Tonggi terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan / atau  kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan suatu kekeliruan yang justru menyebabkan kebebasan berpikir rakyat terkungkung yang tidak mengedepankan pirinsip prinsip hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi;

o.      Bahwa sudah menjadi penyakit sosial di rana humum sejak lama di ruang peradilan kritikan sosial masyarakat rawan ditafsir menyimpang atau melanggar hukum oleh gaya gaya ohkum aparat penegak hukum sejak saman orde baru untuk membela kepentingan kelompok tertentu lalu menghakimi orang yang tidak bersalah dengan tujuan untuk menimbulkan efek jerah negatif, artinya bilamana dimasa sekarang penegakan hukum menempatkan kritikan sosial positif sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana dengan tujuan yang sama maka sangat jelas kebebasan untuk melakukan kritikan sosial di masa sekarang citra penegakan hukumnya jauh lebih buruk bila dibandingkan di masa orde baru, toh di masa orde baru juga berlaku UU Hukum Pidana Pasal 156 yang mengatur kebencian, permusuhan, atau penghinaan terhadap suatu golongan;

p.  Putusan Majelis Hakim (judex facti) tidak jelas prinsip prinsip hukum apa yang dikedepankan dan batasan norma norma apa yang digunakan sebagai indikator, dan juga hak asasi manusia yang seperti apa yang Majelis Hakim maksud, apakah berdasarkan apa yang diyakini para pegiat HAM atau berdasarkan pendapat Majelis Hakim itu sendiri sehingga perbuatan saya tersebut di yakini Majlis Hakim terbukti secara sah sebagai perbuatan yang melanggar hukum, atau putusan Majelis Hakim (judex facti) tersebut adalah gaya oknum / aparat hukum yang bertujuan agar hak demokrasi rakyat dalam melakukan kegiatan kritikan sosial positif akan menjadi jerah, akan tetapi penegakan hukum yang seperti itu sangat jelas mencederai hukum itu sen diri yang menyebutkan Setiap orang berhak untuk mempuyai,mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalu media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa (UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat 2). Dampaknya pendapat Masyarakat pun menjadi terkungkun demi untuk kepentingan kelompok tertrentu;
 
XII. Kekeliruan Majelis Hakim  Soal SARA karena tidak mengedepankan Prinsip Hukum Yang Berkeadilan Sosial, Hak Asasi Manusia, dan Azas Demokrasi Rakyat Dalam Hal Pandangnya Tentang Komunis, Partai Komunis, dan PKI; 

a.  Ideologi Politik Partai Partai Komunis yaitu komunisme/marxisme – leninisme atau Ideologi apapun yang  sumber racikan pemikiranya bersumber dari Marxisme/Komunisme, akan tetapi hal itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Republik Indonesia;

b.  Bahwa dalam Ilmu Pengetahuan Sosial Politik yang terkungkun akibat Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 dan kepentingan kelompok tertentu, sudah menjadi rahasia umum di masyarakat bahwa Ideologi Marhaenisme adalah Ideologi Komunis, karena pada prinsip dasarnya apapun nama suatu Ideologinya bila dasar racikan pemikiranya bersumber dari Komunisme/Marxieme – Lenismi disebut Ideologi Komunis, dan Ideologi Marhaenisme dasar racikan pemikiranya bersumber dari Marxisme;

c.   Bahwa pada prisnsipnya tidak ada dasar hukunya Keputusan Majelis Hakim (judex facti) untuk menerapkan larangan bagi rakyat untuk berpendapat bahwa Ideologi Marhaenisme adalah Ideologi Komunis karena ada dasar pemikirnya ada, dan untuk berpendapat tentang itu, itu adalah hak sosial politik rakyat berhak untuk melakukan kritikan sosial positf dan mencari informasi untuk tahu bila menemukan suatu indikasi hoax untuk mendapat kejelasan bahwa apa latar belakang ideologi suatu partai atau apa latar belakang Ideologi Marhaenisme, Komunis atau bukan, atau apa saja yang merupakan suatu berita hoax yang kejelasannya menjadi suram;

d.    Di antara ketiga butir cakupan larangan yang termuat dalam Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tersebut, poin ketigalah yang menjadi ganjalan utama bagi kebebasan berpendapat warga negara Indonesia, yakni terkait ajaran komunisme (Pakar hukum tata negara Refly Harun).

e.  Terkait dengan HAM bahwa seandaikan Pahan dan Ajaran Partai Komunis di Indonesia dimasa lalu  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Negara Republik Indonesia ini maka Partai Partai Komunis di Indonesia tidak pernah ada di Indonesia sejak tahun 1945;

f.     Bahwa seandainya Ideologi Komunis  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan konstitusi di Negara Republik Indonesia, untuk apa dulu oknum oknum PDIP memperjuangkan pengapusan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966, seandainya Ideologi Komunis bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi di Negara Republik Indonesia, PDIP secara oganisasi politik tentu melarang kadernya untuk memperjuangkan itu;

g.   Bahwa berdasarkan Fakta yang terungkap di depan Persidangan Majelis Hakim keliru memahami hal tersebut, Komunis belum tentu PKI, Palu-Arit Bukan Cuma Punya PKI (Partai Komunis Indonesia), dan dimasa lalu Partai Komunis bukan hanya PKI, tapi ada beberapa Parti Komunis lainya dan di katakan sebagai Parti Komunis berdasarkan Ideologinya, dan kalaupun Majeli Hakim pura pura tidak memahami hal tersebut maka itulah yang disebut gaya aparat yang melahirkan keputusan yang tidak berprinsip keadilan sosial atau tidak sesuai dengan hati nurani Hakim;

h.    Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, bukan karena paham dan ajaranya, tapi karena dinamika politik dimana pemburan PKI pada waktu itu tentu buka karena tanpa sebab, paling tidak oknum oknum pelaku politinya dan oknum konstituenya terindikasi dengan pelanggaran konstitusi atau terkait dengan G.30/S-PKI Tahun 1965, dan bukan hanya PKI yang di bubarkan pada tahun 1965 karena terindikasi dengan pelanggaran konstitusi, ada Partai Komunis selain PKI yang juga dibubarkan pada tahun yang sama;

i.    Bahwa   Pembubaran  Partai di masa lalu bukan hanya  PKI yang mengalaminya, PartaiIslam terbesar pun dimasa itu yang merupakan Partai Penguasa tahun 1950 - 1955 mengalaminya yaitu Partai Masyumi di bubarkan pada tahun 1960, dan tentu Pembubaran Partai Masyumi pada tahun 1960 bukan karena Partai itu berideologi Islam akan tetapi juga karena terindikasi dengan pelanggaran konstitusi;

j.      Bahwa  terbitnya   Ketetapan  MPRS  Nomor  XXV  Tahun  1966   tentang  larangan penyebaran Ajararan dan Paham Komunisme/Marxisme – Lenisme diseluruh Indonesia pada tahun 1966 karena dinamika politik dimasa itu, bukan karena Paham dan Ajaranya bertentangan dengan Undang Undang 1945 sebagai Konstitusi di Republik Indonesia;

k.    Bahwa pada tahun 1966 larangan penyebaran Ajararan dan Paham komunis karena dinami politik pada masa itu dan tingginya indikasi pelanggaran konstitusi atau akan semakin meningkatnya pelanggaran konstitusi bila Tap MPRS tersebut tidak diterbitkan, oleh karena itu bukan hanya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terkena dampak atau imbasnya dari Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966, tapi seluruh Partai Komunis;

l.      Bahwa Saya / Terdakwa dalam Kasus Perkara ini diluar dan didalam pengadilan tidak pernah beranggapan bahwa Marhaenisem sebagai Ideologi yang harus dibenci atau memprovoksi orang lain membenci ajaran dan paham komunisme ataupun ideologi partai komunis dengan berpendapat negatif atau berasumsi misal dengan beranggapan bahwa paham dan ajaran itu adalah pahanm orang orang kafir, Pendapat Saya sama halnya dengan pakar pakar hukum yang memahami Komunis dengan baik bahwa; Komunisme ialah paham antikapitalisme yang memperjuangkan kesejahteraan ekonomi. Ideologi ini menentang kepemilikan akumulasi modal oleh individu yang memunculkan sistem kelas, yakni kelas borjuis sebagai kaum pemilik modal serta kekuasaan, dan kelas proletar sebagai kaum pekerja (Pakar hukum tata negara Refly Harun);

m.   Bahwa  merupakan  kekeliruan yang nyata melarang  rakyat untuk berpendapat dan melakukan kritiksn sosial antara lain bahwa bilamana suatu Partai Politik yang racikan pemikiran Ideologi Politiknya bersumber dari Marxisme itu adalah Partai Komunis, salah dan masalahnya apa dan dasar hukumnya untuk berpendapat tentang Ideologi Marhaenisme sehingga harus dikondisifikasikan dilarang untuk dibicarakan di media publik, Komunis atau bukan rakyat perlu tahu kesimpulan jelasnnya apakah itu adalah ideologi komunis atau bukan;

XIII. Kekhilafan Hakim mengenai Adanya Dampak Yang Ditimbulkan;

a.    Bahwa   Putusan  Pangadilan   Negeri   Watansoppeng, tanggal 19 Juli 2019 adalah putusan yang tidak cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) yang hanya berdasarkan pendapat sendiri dimana ahli  ITe  justru berpendapat lain bawah tidak ada ujaran kebencian tetapi menghina seorang Kepala Negara, karena ujaran kebencian menurut ahli ITe yang diajukan oleh Penuntut Umum, kebencian harus ada unsur saling kenal antara yang melakukan ujaran kebencian dan yang terkena dampak lansung dari ujaran kebencian tersebut   

b.    Bahwa saksi ahli (ahli bahasa) yangh diajukan oleh Penuntut Umun tidak paham atau tidak tahu Komunis  yang belum tentu PKI, Palu-Arit Bukan Cuma Punya PKI (Partai Komunis Indonesia), dimasa lalu Partai Komunis bukan hanya PKI, tapi ada beberapa Partai Komunis lainya, dan yang jelas unsur ajakan tidak serta merta dapat diartikan sebagai suatu ajakan yang memiliki muatan unsur pidana, postinganya saya sifatnya berpendapat, berkumpul, dan berserikat untuk mengetahui dan mencari jelas dan kejelasanya bahwa dasar pemikirannya apa untuk dapat disimpulkan bahwa Ideologi Marhaenisme tidak dapat disebut sebagai Komunis;

c.    Bahwa  untuk  menyatakan  bahwa  saya  secara  sah  melakukan  perbuatan yang melamgggar hukum pidana, aturan hukum apa yang mengatur harus jelas kondisifikasi positifnya bahwa Ideologi Marhaenisme tidak dapat disebut sebagai Idelogi Komunis, bukan dengan gaya aparat dengan tujuan untuk menghakimi saya, dan juga harus jelas aturan hukum apa yang mengatur Ideologi Marhaenisme yang berbau komunis tersebut dilarang untuk di dibahas dan sebarkan di media sosial, pengadilan adalah tempat untuk mencari keadilan yang berkeadilan sosial;

d.    Bahwa berdasarkan UUD 1945, hak asasi rakyat (HAM) atau Konstitusi yang berlaku di Republik Indonesia sudah seharusnya seluruh rakyat berhak mengetahui kejelasan dan penjelasan tentang Ideologi Marhaenisme secara baik dan benar;

e. Bilamana  Hukum  Posistifnya untuk menyatatakan perbuatan Saya yang menyimpulkan bahwa Ideologi Marhaenisme adalah Ideologi Komunis merupakan perbuatan yang melanggar hukum pidana maka dasar hukum positnya adalah Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966, dan terkait dengan G30/S-PKI, maka demi untuk penegakan hukum yang berkeadilan sosial “ PDIP harus dibekukan dan dinyatakan sebagai partai terlarang,” dan pemerintah harus menarik buku buku diperedaran yang berbau komunis”;  

f.     Bahwa dalam hal mengedepankan  prinsip prinsip hukum dengan  kepastian hukum yanbg berkeadilan tanpa ada gaya aparat / oknum, tidak ada istilah yang disebut Ideologi berbau komunis, atapun buku buku yang berbau komunis. Kalau Ideologi itu sudah berbau komunis berarti Ideologi Komunis, dan kalau buku buku itu berbau komunis berarti buku itu isinya tentang komunis atau tentang ajarah atau paham komunis;

g.    Bahwa sampai   Terbitnya Putusan  Majelis Hakim (judex facti) pada tanggal 26 Juli 2019, tidak terdapat fakta lapangan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap DPC PDIP Kabupaten Soppeng dan Joko Widodo-Ma'ruf Amin, terbukti DPC PDIP Kabupaten Soppeng bertambah perolehan kursinya di DPRD Soppeng, dan Joko Widodo-Ma'ruf Amin menang di Kabupaten Soppeng pada pilpres 2019, dimana dari 24 kabupaten/kota se Sulawesi Selatan, Joko Widodo-Ma'ruf Amin hanya menang di 4 Kabupaten dan satu diantaranya di Kabupaten Soppeng;

XIV. Bahwa  di luar   tersebut di atas, maka judex facti harus memeriksa keseluruhan objek perkara yang dimintakan kasasi karena judex facti telah keliru dalam menerapkan hukum;


PEMOHON

Berdasarkan dalil dan argumen-argumen keberatan di atas, Pemohon Kasasi dahulu Pembanding mohon kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia berkenan memberikan putusan:

1.  Menerima dan mengabulkan Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi untuk seluruhnya  
2.   Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 425/PID.SUS/2019/PT MKS tanggal 4 September 2019 jo. Putusan Pengadilan Negeri  Watansoppeng Nomor 20/Pid.Sus/2019/PN Wns;

3.    Menyatakan pemohon kasasi/Muhammad Yusuf Tonggi tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan / atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA);

4. Menyatakan pemohon kasasi/Muhammad Yusuf Tonggi dibebaskan dari dakwaan (Vrijspraak) atau setidak-tidaknya dilepaskan dari semua tuntutan hukum (Onstlag Van Rechtvervolging);

5.    Merehabilitasi nama baik pemohon kasasi/ Muhammad Yusuf Tonggi;

6.    Membebankan biaya perkara ini kepada Negara.

Watansoppeng, 15 Oktober 2019
Hormat Kami
Pemohon Kasasi




Muhammad Yusuf Tonggi Bin Kamaruddin Tonggi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar